Tradisi Barapen dan Kaum Pembuat Sagu di Tambrauw

Liputan6.com, Tambrauw – Barapen merupakan tradisi paling kuno yang ada pada masyarakat Tambrauw, Papua Barat. Dalam tradisi itu, warga akan memasak dengan cara membakar secara besar-besaran, dan ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur dan persaudaraan. Biasanya, bahan makanan yang digunakan yakni dagung, sayuran, dan beberapa jenis umbi.

Pertama, salah seorang penduduk akan menggali tanah, selanjutnya disebut sebagai kolam. Lalu dasar kolam ditata dengan beralaskan daun pisang, bagian atasnya ditata daging, sayuran dan umbi. Kemudian, bagian itu ditutup kembali menggunakan daun pisang.

Selanjutnya, warga mengambil batu yang dibakar hingga berwarna merah. Batu diturunkan di atas daun pisang sampai merata, hingga seluruh makanan yang dibungkus daun pisang itu matang.

Semua batu yang akan digunakan untuk memasak, dibakar dalam sebuah lubang yang dibuat di tanah. Teknis dalam memasak secara barapen biasanya dilihat dari panas yang sudah diterima oleh batu.

Ketika batu dirasa sudah panas, maka tumpukan batu akan dibuka sebagian. Lalu semua sayuran dimasukan ke tengah-tengah celah batu yang tadi dibuka dimana daging ditempatkan di tengah-tengah sayuran sebelum celah batu kembali ditutup.

Meski tidak umum, makanan yang dimasak dengan cara barapen tetap terasa lezat. Menariknya, lemak daging yang dibakar bersama makanan lain itu pun hilang. Karena, lemaknya terserap ke dalam sayuran.

Tradisi Barapen adalah tradisi yang mengajarkan bagaimana cara menciptakan dan menguatkan kebersamaan antar sesama manusia di suatu daerah atau suku. Dalam pelaksanaan barapen, seluruh warga yang terlibat melaksanakan seluruh persiapan, proses, hingga upacara makan secara bersama.

Barapen merupakan tradisi tertua yang ada di Papua. Niat dalam pelaksanaannya yakni mengungkap rasa syukur serta persaudaraan.

Barapen biasanya juga dilakukan dalam rangka merayakan sanak saudara yang kembali pulang setelah lama merantau dan sebagai tradisi saat diadakannya upacara kematian. Inilah yang melatarbelakangi, makanan yang disantap dalam barapen biasanya berjumlah besar.

Kaum Pembuat Sagu

Di Papua Barat, ada Distrik Werur yang menjadi tempat pembuatan sagu tradisional. Lokasinya dari Distrik Bikar dapat ditempuh dalam waktu 30 menit berjalan kaki. Area yang ditempuh ini sungguh menarik, siapa saja yang mau ke sana harus melewati permukaan tanah basah, rawa-rawa, dan sungai kecil.

Di tempat itu, terlihat aktivitas warga yang sedang mengolah sagu dari bahan baku pembuatan sagu yakni pohon rumbia. Pertama, batang pohon rumbia dikuliti, bagian dalamnya ditempa menggunakan kapak kayu hingga hancur dan membentuk serabut. Selanjutnya, serabut rumbia yang diperoleh lantas dicampur dengan air dan diperas layaknya membuat santan.

Setelag itu, akan ada seorang warga yang memeras bubuk bakal sagu tersebut di atas papan. Airnya mengalir melewati pipa kayu, lalu ditampung dalam wadah dan didiamkan beberapa hari. Nantinya, air tersebut akan menjadi sagu.

Untuk sagu yang sudah matang, sajian berupa bubuk sagu yang dimasukkan ke bilah-bilah bambu. Sagu itu dibalut dalam sayuran yang disebut sayur gedi yang rasanya seperti daun pepaya. Gedi dimasak dengan sagu tanpa bumbu apapun. Rasanya tawar, tapi tetap terasa segar.

Umumnya gedi dan sagu disantap bersama singkong atau kasbi dan ayam hutan yang direbus dalam bilah kayu.

Menyantap sagu di alam Papua Barat membuat siapa saja terhanyut. Sagu dan alam Papua Barat terasa menyatu, membuat orang yang merasakan pengalaman ini kembali bersyukur atas perpaduan antara kecantikan alam dan kekayaan kuliner Tambrauw.

 

Sumber : https://www.liputan6.com